Search Al Quran Here / Cari Al Quran di sini

http://www.quranexplorer.com/quran/

Search This Blog

AlQuran

AlQuran
Tafsir Per Kata

Friday, August 2, 2013

Tahlil: Jawapan kepada fahaman Wahabi/Salafi.

Tahlil: Jawapan kepada fahaman Wahabi/Salafi.

July 30, 2013 at 7:07pm
PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI BAB X PERMASALAHAN TRADISI

PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI

 BAB X
PERMASALAHAN TRADISI



Tradisi Tahlilan
Tahlilan terambil dari kosa kata tahlil, yang dalam bahasa Arab diartikan dengan mengucapkan kalimat la ilaha illallah. Sedangkan tahlilan, merupakan sebuah bacaan yang komposisinya terdiri dari beberapa ayat al-Qur'an, shalawat, tahlil, tasbih dan tahmid, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang masih hidup maupun sudah meninggal, dengan prosesi bacaan yang lebih sering dilakukan secara kolektif (berjamaah), terutama dalam hari-hari tertentu setelah kematian seorang Muslim. Dikatakan tahlilan, karena porsi kalimat la ilaha illallah dibaca lebih banyak dari pada bacaan- bacaan yang lain.
Terdapat sekian banyak persoalan atau gugatan terhadap tradisi tahlilan yang datangnya dari kaum Wahhabi. Dalam sebuah dialog di Besuk Kraksaan Probolinggo, sekitar tahun 2008, ada seseorang bertanya: "Siapa penyusun tahlilan dan sejak kapan tradisi tahlilan berkembang di dunia Islam?"
Pada waktu itu saya menjawab: "Bahwa sepertinya sampai saat ini belum pernah dibicarakan dan diketahui mengenai siapa penyusun bacaan tahlilan dengan komposisinya yang khas itu. Mengingat, dari sekian banyak buku tahlilan yang terbit, tidak pernah dicantumkan nama penyusunnya."
Akan tetapi berkaitan dengan tradisi tahlilan, itu bukan tradisi Indonesia atau Jawa. Kalau kita menyimak fatwa Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, tradisi tahlilan telah berkembang sejak sebelum abad ketujuh Hijriah, Dalam kitab Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah disebutkan: "Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka: "Dzikir kalian ini bid'ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid'ah". Mereka memulai danmenutup dzikirnya dengan al-Qur'an, lalu mendo’akan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa billaah) dan shalawat kepada Nabi Saw. Lalu Ibn Taimiyah menjawab: "Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur'an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi Saw. Bersabda: "Sesungguhrrya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengansekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil: "Silakan sampaikan hajat kalian", lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, "Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepadaMu"... Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur'an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta padi sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah Saw. dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22 halaman 520)
Dalam sebuah diskusi di Denpasar Bali, ada seorang Wahhabi berkata: "Bahwa tradisi selamatan tujuh hari itu mengadopsi dari orang-orang Hindu. Sudah jelas kita tidak boleh meniru-niru orang Hindu."
Pernyataan orang Wahhabi ini tentu saja tidak wajar. Ada perbedaan antara tradisi Hindu dengan Tahlilan. Dalam tradisi Hindu, selama tujuh hari dari kematian, biasanya diadakan ritual selamatan dengan hidangan makanan yang diberikan kepada para pengunjung, disertai dengan acara sabung ayam, permainan judi, minuman keras dan kemungkaran lainnya.
Sedangkan dalam tahlilan, tradisi kemungkaran seperti itu jelas tidak ada. Dalam tradisi Tahlilan, diisi dengan bacaan al-Qur'an, dzikir bersama kepada Allah Swt. serta selamatan (sedekah) yang pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Jadi, antara kedua tradisi tersebut jelas berbeda.
Sedangkan berkaitan dengan acara tujuh hari yang juga menjadi tradisi Hindu, dalam Islam sendiri, tradisi selamatan tujuh hari telah ada sejak generasi sahabat Nabi Saw. Al-Imam Sufyan, seorang ulama salaf berkata: "Bahwa Imam Thawus berkata: "Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut." (HR. Imam Ahmad dalam az-Zuhd al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Hilyah al-Auliya’ juz 4 halaman 11 dan al-Hafidz Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-'Aliyah juz 5 halaman 330).
Riwayat di atas menjelaskan bahwa tradisi selamatan selama tujuh hari telah berjalan sejak generasi sahabat Nabi. Sudah barang tentu, para sahabat dan generasi salaf tidak mengadopsinya dari orang Hindu. Karena orang-orang Hindu tidak ada di daerah Arab. Dan seandainya tradisi selamatan tujuh hari tersebut diadopsi dari tradisi Hindu, maka hukumnya jelas tidak haram, bahkan bagus untuk dilaksanakan, mengingat acara dalam kedua tradisi tersebut sangat berbeda. Dalam selamatan tujuh hari, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah. Sedangkan orang Hindu melakukan kemungkaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Saw. bersabda: "Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan." (HR. Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam al-Ausath. Alhafidz as-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ ash-Shaghir).
Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu. Dan seandainya tasyabuhdengan orang Hindu dalam selamatan tujuh hari tersebut dipersoalkan, Rasulullah Saw. telah mengajarkan kita cara menghilangkan tasyabuh (menyerupai orang-orang ahlul kitab) yang dimakruhkan dalam agama. Dalam sebuah hadits shahih riwayat dari Ibn Abbas yang berkata: "Setelah Rasulullah Saw. berpuasa pada hari Asyura danmemerintahkan kaum Muslimin juga berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, hari Asyura itu diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani." Rasulullah Saw. menjawab: "Kalau begitu, tahun depan, kita berpuasa pula tanggal sembilan." Ibn Abbas berkata: “Tahun depan belum sampai ternyata Rasulullah Saw. telah wafat." (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Dalam hadits di atas, para sahabat menyangsikan perintah puasa pada hari Asyura, dimana hari tersebut juga diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sementara Rasulullah Saw. telah menganjurkan umatnya agar selalu menyelisihi(mukhalafah) orang-orang Yahudi dan Nasrani. Temyata Rasulullah memberikan petunjuk, cara menyelisihi mereka, yaitu dengan berpuasa sejak sehari sebelum Asyura, yang disebut dengan Tasu'a', sehingga tasyabbuh tersebut menjadi hilang.
Dalam sebuah acara di Denpasar Bali, ada juga orang Wahhabi yang mempersoalkan: "Bagaimana dengan pendapat madzhab asy-Syafi'i yang mengatakan bahwa pemberian hidangan makanan terhadap orang yang berta'ziyah dihukumi bid'ah madzmumah. Hal tersebut berarti juga meninggalkan sunnah, dimana yang dianjurkan justru orang yang berta'ziyah itu member hadiah makanan kepada keluarga mayit. Apakah tidak sebaiknya tradisi tersebut kita hilangkan?"
Dalam hal tersebut saya menjawab, bahwa sebenarnya dalam tradisi tahlilan selama tujuh hari, kaum Muslimin tidak meninggalkan sunnah. Mereka telah melakukan sunnah, dimana para tetangga dan sanak famili yang berta'ziyah, itu membawa makanan, ada yang berupa beras, ada yang berupa lauk pauk, uang dan lain sebagainya. Jadi kaum Muslimin di Indonesia tidak meninggalkan sunnah.
Sedangkan tradisi suguhan makanan dari keluarga mayit kepada para penta'ziyah, dalam hal ini madzhab asy-Syafi'i berpendapat bid'ah madzmumah. Tetapi kita harus ingat, bahwa dalam ini ada pendapat lain di kalangan ulama, yaitu madzab generasi salaf seperti telah diceritakan sebelumnya dari Imam Thawus. Disamping itu, ada riwayat dari Sayyidina Umar bin al-Khaththab Ra., bahwa ketika beliau akan wafat berwasiat agar orang-orang yang berta’ziyah disuguhi makanan.
Al-Hafidz Ibn Hajar berkata dalam kitabnya al-Mathalib al’-Aliyah: "Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar Umar Ra. berkata: “Apabila seseorang dari suku Quraisy memasuki satu pintu, pasti orang lain akan mengikutinya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan ini, sampai akhirnya Umar Ra. ditikam, lalu beliau berwasiat agar Shuhaib yang menjadi Imam Shalat selama tiga hari dan agar menyuguhkan makanan pada orang-orang yang ta’ziyah. Setelah orang-orang pulang dari mengantarkan jenazah Umar Ra., ternyata hidangan makanan telah disiapkan, tetapi mereka tidak jadi makan,karena duka cita yang tengah menyelimuti mereka.” (HR. Ahmad bin Mani’ dalam al-Musnad dan al-Hafidz Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 halaman 328)
Dengan demikian, masalah suguhan makanan dari keluarga mayit kepada para penta'ziyah masih ada pendapat lain yang membolehkan, dan tidak menganggapnya bid'ah madzmumah. Kita tidak mungkin memaksakan orang lain konsisten dcngan satu madzhab secara penuh. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Seorang faqih tidak sebaiknya, memaksa orang lain mengikuti madzhabnya." (Ibn Muflih al-Hanbali dalam al-Adab asy-Syar'iyyah juz 1 halaman 187 dan Syaikh al-Albani dalam ar-Radd al-Mufhim halaman 9 dan 147).
Dalam sebuah diskusi di Jember, ada juga seorang teman yang agak terpengaruh Wahhabi menggugat: "Dengan adanya tradisi tahlilan, menyebabkan mereka yang melakukan tahlilan meninggalkan sunnah, seperti tidak shalat berjamaah karena tahlilan. Bahkan ada juga, untuk acara tahlilan, keluarga duka cita sampai mencari hutangan segala. Apakah sebaiknya hal ini tidak menjadi problem?" Demikian teman tersebut menggugat.
Gugatan teman ini sebenarnya tidak substansial Karena banyak juga orang yang tahlilan, tetapi temp rajin berjamaah. Jadi tahlilan, tidak menghalangi jamaah. Bahkan di sebagian daerah di Jember, acara tahlilan selama tujuh hari dilaksanakan setelah shalat Dzuhur. Di Pasuruan, dilaksanakan setelah shalat Isya', tergantung daerah masing-masing. Karena dalam tradisi tahlilan memang tidak ada ikatan waktu. Sedangkan terkait dengan sebagian orang yang memaksakan diri dengan mencari hutangan uang untuk acara tahlilan, ini sebenarnya bukan problem tahlilannya. Banyak juga orang yang sampai mencari hutangan untuk kesenangan keluarganya, dan bukan untuk tahlilan.
Ada juga orang Wahhabi yang menggugat tahlilan dengan berkata: "Dalam bacaan tahlilan terdapat bid'ah, yaitu susunan bacaannya yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw."
Menanggapi hal tersebut, kita menjawab bahwa berkaitan dengan susunan bacaan dan dalam tahlilan yang terdiri dari beberapa macam dzikir, mulai dari al-Qur’an, shalawat, tahlil, tasbih, tahmid dan lain-lain, hal tersebut tidak ada larangan dari Rasulullah Saw. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. juga mencampur antara bacaan al-Qur'an dengan do’a seperti diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam kitab ad-Du’a’.
Dari kalangan ulama salaf seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal, menyusun dzikiran campuran antara ayat al-Qur’an dan lain-lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam Zad al-Ma’ad. Wallahu a’lam.

Tradisi Talqin Mayit
Di kalangan masyarakat kita, ketika ada orang meninggal dunia, dan dimakamkan, maka dibacakan talqin, yaitu sebuah tuntunan kepada si mayit agar mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Tradisi ini berlaku hampir di seluruh negara Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jama'ah. Ada dialog menarik seputar talqin ini, yang diceritakan oleh teman saya, Ustadz Syafi'i Umar Lubis dari Medan. Ia bercerita begini:
“Sekitar bulan Maret 2010 ada seorang mahasiswa IAIN Sumatera Utara yang kos di salah satu sudut kota Medan. Tiap malam rabu ia belajar mengaji bersama kami didaerah Sunggal. Waktu itu kitab yang dibaca adalah kitab at-Tahdzib fi Adillat al-Ghayah wa at-Taqrib, karya Musthafa Dibul Bugha. Mahasiswa ini sangat resah dengan keberadaan keponakannya yang belajar di Pondok As-Sunnah, sebuah pesantren yang diasuh oleh orang-orang Wahhabi. Sepertinya anak itu telah termakan racun ajaran Salafi. Mahasiswa itu berjanji membawa keponakannya ke Majelis Ta'lim kami di Sunggal.
Pada malam yang ditentukan datanglah mereka, bersama keponakannya itu, sebut saja dengan inisial X. Setelah mereka berkumpul, saya bertanya: “Kira-kira apa yang akan kita diskusikan?”
X menjawab: "Banyak Ustadz, antara lain soal Talqin dan bid'ah."
Saya bertanya: "Apa yang kita masalahkan dengan bid'ah itu?"
"Ini Ustadz, bid'ah itu kan dosa dan pelakunya diancam siksa dalam banyak hadits." Demikian X itu menjawab.
Saya Tanya: "Benar, kita sepakat bid'ah itu sebuah ancaman dan membahayakan sekali. Tapi perlu diingat, bid'ah itu tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari nama Islam alias murtad. Bid'ah itu ada kalanya berkaitan dengan aqidah, kadang dengan ibadah. Kamu tahu enggak apa itu bid'ah?"
X menjawab: "Sebagaimana yang kami pelajari, bid'ah itu ialah segala sesuatu yang menyangkut ibadah yang tidak ada di zaman Nabi dan dilakukan oleh Nabi dan Salafus Sholeh, seperti Talqin, Madzhab, Ushalli dan lain sebagainya."
Saya berkata: "Definisi bid'ah seperti itu siapa yang membuatnya? Nabi, atau sahabat, dan atau tabi’in?"
X menjawab: "Itu rangkuman pemikiran saya saja."
Saya berkata, "Kalau begitu definisi bid'ah menurut Anda itu kan tidak ada penjelasannya dari Nabi. Nah definisi Anda itu juga bid'ah, kan definisi Anda itu bukan keluar dari ucapan Nabi. Ok..? Ini sesuai yang Anda katakan."
Mendengar umpan saya, X terdiam. Kemudian ia berkata: "Lalu bagaimana dengan hadits "Man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa roddun."
Saya balik bertanya: "Kenapa dengan hadits itu?"
X berkata: "Hadits ini secara tegas menyingkap apa itu bid'ah."
Saya berkata: "Benar, tapi perlu dicermati maksud kalimat, man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu. Menurut pemahaman Anda bagaimana dengan kalimat itu?"
Ia menjawab: "Menurut saya pokoknya menciptakan ibadah baru itu bid'ah."
Saya berkata: "Kalau begitu Anda memahami hadits itu pakai kacamata kuda dong. Saya bertanya, apa arti ma laisa mihu dalam hadits tersebut? Tolong Anda jelaskan tiga kata ini."
Ternyata X hanya terdiam tidak bisa menjawab. Saya berkata: "Saudara, kata ahdatsa dalam hadits tersebut bermakna menciptakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan kata fi amrina, bermakna sesuatu yang merupakan urusan agama kami, maksudnya suatu hal yang baru yang berkaitan dengan agama. Sedangkan kata ma laisa mihu, bermakna sesuatu yang tidak ada dalilnya secara langsung atau tidak langsung dari agama. Nah demikian itu baru dihukumi bid'ah. Makanya al-Imam an-Nawawi dalam Kitab al-Majmu' Syarh al- Muhadzdzab menyatakan bahwa bid'ah adalah sesuatu urusan yang baru dalam agama yang tidak ada dalilnya. Dalil-dalil itu adalah al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Selama masih ada dalilnya dari salah satu yang empat tersebut, maka itu bukan bid'ah. Anda kalau zakat fitrah pakai apa? Seharusnya mesti pakai korma dong. Rasul Saw. mengatakan tidak pernah pakai beras. Rasul tidak mempraktekkan zakat fitrah pakai beras. Pakai beras itu Qiyas dari korma dan gandum. Jadi kalau tidak menggunakan Qiyas, tentu saja Islam ini sempit sekali. Demikian pula masalah Takhtim, Tahlil yang selalu diamalkan masyarakat kita, isinya adalah pembacaan al-Qur'an, Tahlil dengan kalimat Laa llaha lllallah, Sholawat, lalu doa. Saya tanya Anda, Apakah ada larangan membaca itu semua, baik menurut al-Qur'an dan hadits?"
Mendengar pertanyaan saya, X menjawab: "Tidak ada."
Saya berkata: "Apakah ada perintah membaca itu semua menurut al-Qur'an dan hadits secara umum?"
X menjawab: "Ada."
Saya bertanya: "Adakah larangan Allah dan Rasul untuk berdzikir, baca al-Qur'an dan lain sebagainya itu?"
X menjawab: "Tidak ada."
Saya berkata: "Nah! Kan tidak ada larangan. Sementara pengamalan tersebut ada sanjungan dari Allah dan Rasul, maka itu bukanlah bid'ah yang terlarang atau sesat. Anda paham?"
X menjawab: "Emangnya apa sanjungan Allah dan RasulNya?"
Saya menjawab: "Lho...! Tidakkah pernah saudara dengar sebuah hadits shahih yang artinya: “Tidaklah sekelompok orang yang duduk sambil berdzikir kepada Allah kecuali para malaikat akan mengelilinginya, rahmat kasih sayang Allah akan meliputinya, ketenangan akan diturunkan kepadanya dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sisiNya". (HR Ahmad, Muslim, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi dari Abi Hurairah dan Abi Sa'id al- Khudri). Dalam hadits ini atau hadits lain tidak pernah ada larangan, kecuali di tempat-tempat kotor seperti di WC dan semacamnya."
Mendengar penjelasan saya, X terdiam. Kemudian ia angkat bicara: "Bagaimana masalah Talqin? Bukankah itu Bid'ah?"
Saya menjawab: "Begini saja supaya jelas. Lalu saya berdiri dan mengambil spidol dan menuliskan di Whiteboard, "TALQIN MAYIT BUKAN BID'AH TAPI KHILAFIAH" dan saya tanda tangani. Lalu saya suruh ia untuk menuliskan kalimat tandingan dari pernyataan saya. Lalu iapun menuliskan "TALQIN MAYIT ADALAH BID’AH" dan ditandatanganinya.
Lalu saya bertanya: "Kalau Talqin mayit adalah bid'ah berarti pelakunya diancam siksa?"
X menjawab: "Ya."
Saya bertanya: “Yang mengatakan bahwa talqin mayit itu bid'ah, siapa?"
Dengan semangat, X yang masih anak muda itu mengatakan: "Syaikhul Islam Ibn Taimiyah."
Mendengar jawaban itu, saya pun mengambil kitab Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Lalu saya berkata: "Ini kitab Majmu' Fatawa Ibn Taimiyah." Sambil menunjukkan kepada hadirin semua pada jilid 1 halaman 242 yang isinya adalah: "Talqin yang tersebut ini (talqin setelah mayit dikuburkan) telah diriwayatkan dari segolongan sahabat bahwa mereka memerintahkannya seperti Abi Umamah al-Bahili serta beberapa sahabat lainnya, oleh karena ini al-lmam Ahmad bin Hanbal dan para ulama yang lain mengatakan bahwa sesungguhnya talqin mayit ini tidak apa-apa untuk diamalkan..." Nah, Ibn Taimiyah tidak mengatakan bahwa talqin itu bid'ah, malah menyatakan ada dalilnya bahwa talqin itu dilakukan oleh sebagian Sahabat. Yang jelas ini masalah khilafiah bukan masalah bid'ah" Mendengar penjelasan saya, X pun terdiam. Tidak lama kemudian, ia pamitan pulang."
Demikian kisah dialog public antara Ustadz Syafi'i Umar Lubis dari Medan Sumatera Utara dengan pemuda Wahabi.

Doa Bersama
Ada seorang teman yang sekarang tinggal di Bandung sebagai kiai muda, curhat kepada saya melalui SMS, bahwa ada sekelompok aliran di daerahnya, ketika selesai shalat, mereka tidak mau berdoa bersama dengan dipandu seorang imam. Alasan mereka, hal itu tidak ada haditsnya dan termasuk bid'ah. Hal yang sama juga terjadi pada saya. Dalam sebuah diskusi tentang bid'ah dan tradisi, di Mushalla Nurul Hikmah, Perum Dalung Permai Denpasar, pada 22 Juli 2010 yang lalu, ada seorang Salafi yang berpendapat bahwa doa bersama itu bid'ah. Ketika salah seorang teman kami berdoa sebagai penutup acara, jamaah yang hadir semuanya mengucapkan amin sambil mengangkat kedua tangan mereka. Sementara laki-laki Salafi yang menolak doa bersama tersebut, tidak ikut amin dan tidak mengangkat kedua tangannya.
Pada dasarnya, kalau kita mengkaji ajaran Islam secara mendalam, akan kita dapati bahwa tradisi doa bersama, dimana salah seorang dari jamaah mengucapkan doa, sedangkan anggota jamaah lainnya membaca amin, merupakan tradisi Islami sejak generasi salaf yang saleh dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadits hasan Rasulullah Saw. bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka." (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Kabir, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafidz al-Haitsami berkata dalam Majma' az-Zawaid, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi'ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan."
Dalam hadits lain diterangkan: ”Dari Ibn Abbas radhiyallahu 'anhuma, berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: "Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala." (HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).
Menurut al-Hafidz Ahmad bin ash-Shiddiq al- Ghumari dalam kitabnya al-Mudawi li ’llal al-Jami' ash-Shaghir wa Syarhai al-Munawi juz 4 halaman 43: “Kelemahan hadits ad-Dailami di atas dapat diperkuat dengan ayat al-Qur'an. Allah berfirman tentang kisah Nabi Musa As.: "Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus." (QS. Yunus ayat 89).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menegaskan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa As. dan Nabi Harun As. Padahal yang berdoa sebenarnya Nabi Musa As. sedangkan Nabi Harun As. hanya mengucapkan amin, sebagaimana diterangkan oleh para ulama ahli tafsir. Nabi Musa As. yang berdo’a dan Nabi Harun As. yang menngucapkan amin, dalam ayat tersebut sama-sama dikatakan do’a. Hal ini pada dasarnya menguatkan hadits di atas, bahwa orang yang berdo’a dan yang mengucapkan amin sama-sama mendapatkan pahala do’a. Mengenai doa Nabi Musa AS tersebut, telah dijelaskan dalam ayat berikut ini: "Musa berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasanklah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." (QS. Yunus ayat 88)
Dalam hadits lain diterangkan: ”Ya’la bin Syaddad berkata: "Ayahku bercerita kepadaku, sedangkan Ubadah bin ash-Shamit hadir membenarkannya: "Suatu ketika kami bersama Nabi Saw., Beliau Saw. berkata: "Apakah di antara kamu ada orang asing? (Maksudnya ahlul kitab)." Kami menjawab: "Tidak ada ya Rasululah." Lalu Rasul Saw. memerintahkan agar mengunci pintu. Kemudian bersabda: "Angkatlah tangan kalian dan ucapkan la ilaha illallah." Maka kami mengangkat tangan kami beberapa saat. Kemudian Rasul Saw. berkata; ”Ya Allah, Engkau telah mengutus aku membawa kalimat ini, dan Engkau janjikan surga padaku dengan kalimat tersebut, sedangkan Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian Rasul bersabda: "Bergembiralah, karena Allah telah mengampuni kalian." (HR. Al-lmam Ahmad dengan sanad yang dinilai hasan oleh al-Hafidz al-Mundziri, ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan lain-lain)
Dalam hadits di atas Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabat membaca kalimat tauhid (la ilaha illallah) bersama-sama. LaIu para sahabat pun mengucapkannya bersama-sama sambil mengangkat tangan mereka. Kemudian Rasulullah Saw. membacakan doa. Dengan demikian, dzikir bersama sebenarnya memiliki tuntunan dari hadits shahih ini.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi doa bersama, dimana salah seorang di antara jamaah memimpin doa, sedangkan jamaah yang lain mengucapkan amin, baik hal tersebut didahului dengan dzikir bersama maupun tidak, pada dasamya memiliki dasar hadits yang kuat, dan bahkan merupakan tuntunan al-Qur'an al-Karim sebagaimana yang terdapat dalam kisah Nabi Musa As. dan Nabi Harun As. Wallahu a'lam.

No comments:

Post a Comment