Fatimah binti Muhammad, atau lebih dikenal dengan Fatimah az-Zahra (Fatimah yang selalu berseri) (Bahasa Arab: فاطمة الزهراء) putri bungsu Nabi Muhammad dari perkawinannya dengan istri pertamanya, Khadizah.
Siti Fatimah Az Zahra r.a dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20
Jamadil Akhir, lebih kurang lima tahun sebelum Rasulullah SAW diangkat
menjadi rasul. Siti Fatimah Az Zahra r.a tumbuh besar di bawah naungan
wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan
jahiliyah, di kala sedang hebatnya perjuangan para perintis iman melawan
penyembah berhala.
Kelahiran Fatimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi wassalam dengan memberikan nama Fatimah dan julukannya Az-Zahra.
Pemimpin
wanita pada masanya ini adalah putri ke 4 dari anak anak Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah
binti Khuwalid. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki
kelahiran Fatimah yang mendekati tahun ke 5 sebelum Muhammad diangkat
menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya
Rasulullah sebagai penengah ketika terjadi perselisihan antara suku
Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah
Ka’bah diperbaharui.
Fatimah lebih muda dari Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi‘ dan Ruqayyah, isteri Utsman bin Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kultsum. Dia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau bersabda :
”Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku.” [Ibnul Abdil Barr dalam "Al-Istii'aab"]
Di
antara anak wanita Rasulullah s.a.w, Fathimah Az-Zahra r.a, merupakan
wanita paling utama kedudukannya. Kemuliannya itu diperoleh sejak
menjelang kelahirannya, yang didampingi wanita suci sebagaiman yang
diucapkan oleh Khadijah:
"Pada waktu kelahiran Fartimah r.a, aku meminta bantuan wanita-wanita
Quraish tetanggaku, untuk menolong. Namun mereka menolak mentah-mentah
sambil mengatakan bahwa aku telah menghianati mereka dengan mendukung
Muhammad. Sejenak aku bingung dan terkejut luar biasa ketika melihat
empat orang tinggi besar yang tak kukenal, dengan lingkaran cahaya
disekitar mereka mendekati aku.
Ketika mereka mendapati aku dalam kecemasan salah seorang dari mereka
menyapaku: ‘Wahai Khadijah! Aku adalah Sarah, ibunda Ishhaq dan tiga
orang yang menyapaku adalah Maryam, Ibunda Isa, Asiah, Putri Muzahim,
dan Ummu Kultsum, Saudara perempuan Musa. Kami semua diperintah oleh
Allah untuk mengajarkan ilmu keperawatan kami jika anda bersedia".
Sambil mengatakan hal tersebut, mereka semua duduk di sekelilingku dan
memberikan pelayanan kebidanan sampai putriku Fathimah r.a lahir."
Meningkat usia 5 tahun, beliau
telah ditinggal pergi ibunya. Tidak secara langsung beliau mengantikan
tempat ibunya dalm melayani, membantu dan memebela Rasulullah s.a.w,
sehingga beliau mendapat gelar Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dan dalam
usia yang masih kanak-kanak, beliau juga telah dihadapkan kepada
berbagai macam uji coba. Beliau melihat dan meyaksikan perlakuan keji
kaum kafir Quraish kepada ayahandanya, sehingga seringkali pipi beliau
basah oleh linangan air mata kerana melihat penderitaan yang dialalmi
ayahnya.
Fatimah
Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak hanya merupakan putri
dari Rasulullah, namun juga mampu menjadi salah satu orang kepercayaan
ayahnya pada masa Beliau. Fatimah Az-Zahra memiliki kepribadian yang
sabar,dan penyayang karena dan tidak pernah melihat atau dilihat lelaki
yang bukan mahromnya. Rasullullah sering sekali menyebutkan nama
Fatimah, salah satunya adalah ketika Rasulullah pernah berkata
" Fatimah merupakan bidadari yang menyerupai manusia" Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia dan penghuni syurga yang paling utama.
Pernikahan Fatimah
Setelah Fatimah r.a mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk
beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat
yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar.
Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau
mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya
(Fatimah).”[Tadzkirah Al-Khawash, hal.306]
Kemudian, Jibril as datang untuk mengabarkan kepada Rasulullah saw,
bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib. Tak lama
setelah itu, Ali datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu
menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah. Sang ayah pun menghampiri
putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai
Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali
kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah
memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik
mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan
pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?” Fatimah
diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu
Akbar! Diamnya adalah tanda kerelaannya.” [Dzkha’irAl-Ukba, hal. 29]
Rasulullah saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang
menantu seraya berkata, “Bangunlah! ‘Bismillah, bi barakatillah, masya’
Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu ‘alallah.”
Kemudian, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah.
Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang
paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan
peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan
keturunannya dari setan yang terkutuk.” Rasulullah mencium keduanya
sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata,
“Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.”
Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu.”
Acara pernikahan itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali
tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang
istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu,
ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya,
karena Islam memerlukan pedang itu, dan tidak setuju apabila Ali menjual
perisainya.
Dengan mas kawin hanya 400
dirham, dia memulakan penghidupan dengan wanita yang sangat dimuliakan
Allah di dunia dan di akhirat. Dan ’Ali pun menikahi Fathimah, dengan
menggadaikan baju besinya kepada Ustman bin Affan itulah, dan rumah yang
semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Rosulullah berkeras
agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Kemudian Rosulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali
bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya
dengan maskawin empat ratus fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha
(menerima) mahar tersebut.”.
Selanjutnya Rasulullah mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan
kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua,
memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak.”
(kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).
Bersuamikan Ali bin Abi Thalib
bukanlah satu kebanggaan yang menjanjikan kekayaan harta. Karena Ali bin
Abi Thalib adalah salah seorang daripada empat sahabat yang sangat
rapat dengan Rasulullah merupakan sahabat yang sangat miskin berbanding
dengan yang lain (Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ustman bin
Affan).
Namun jauh di sanubari Rasulullah
tersimpan perasaan kasih dan sayang yang sangat mendalam terhadap Ali
bin Abi Thalib. Rasulullah pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib,
“Fatimah lebih kucintai daripada engkau, namun dalam pandanganku engkau
lebih mulia daripada dia.” (HR Abu Hurairah).
Dengan demikian wanita pilihan
untuk lelaki pilihan. Fatimah mewarisi akhlak ibunya Siti Khadijah.
Tidak pernah membebani dan menyakiti suami dengan kata-kata atau sikap.
Senantiasa senyum menyambut kepulangan suami hingga hilang separuh
masalah suaminya.
Buah Hati
Keluarga Azzahra dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang kepada suami
dan anak-anaknya. Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah melahirkan putra
pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw
sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan
azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian
dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak
menjadikan keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Azzahra r.a. Rasul
mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang
keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di
dunia.
Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka
bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya
dengan penuh kehangatan. Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah
Fatimah r.a. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi
dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa
tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah r.a melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu
Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya
Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah itu dengan
nama-nama tersebut. Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul
saw berasal dari putrinya Fatimah Zahra.
Dalam suatu kisah menceriterakan
tentang keadaan rumah tangga Ali bin Abi Thalib yang hidup miskin dan
serba kekurangan setelah menikah dengan Fatimah binti Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Wahai anakku bersabarlah. Sesungguhnya sebaik-baik wanita adalah yang bermanfaat bagi keluarganya”.
Itulah jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Fatimah mengadukan keadaan keluarganya.
Suatu ketika,
Rosulullah keluar dari rumah Fatimah dengan tanda-tanda kemarahan di
wajahnya. Padahal beliau baru saja sampai di rumah Fatimah. Sikap itu
sebagai reaksi beliau atas penampilan anaknya yang mengenakan giwang dan
rantai terbuat dari perak, serta selot pintu rumah yang terbuat dari
bahan sejenis perak. Karena memahami sifat Rosulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, Fatimah segera mencopot perhiasan dan selot pintu dan
menyerahkannya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya
berkata. :
“Jadikanlah semua ini di jalan Allah, ya ayahku”. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat terharu, dan bersabda; “Sungguh
kamu telah melakukannya, wahai anakku. Ketahuilah, dunia ini bukan
untuk Muhammad dan keluarganya. Seandainya dunia ini bernilai di sisi
Allah sebesar sayap nyamuk, tak akan ada orang kafir diberi minum
setetespun”.
Bukannya Ali bin Abi Thalib tidak mau menyediakan seorang pembantu
untuk isterinya tetapi memang keadaan kefakiranlah yang sedemikian rupa.
Ali bin Abi Thalib pun cukup memaklumi isterinya yang setiap hari
menguruskan anak-anak, memasak, membasuh dan menggiling tepung, dan yang
lebih memenatkan lagi bila terpaksa mengambil air melalui jalan yang
berbatu-batu jauhnya sehingga kelihatan tanda di bahu kiri dan kanannya.
Suami mana yang tidak saying kepada isterinya. Pada suatu ketika bila
Ali bin Abi Thalib berada di rumah turut menyinsing lengan membantu
istrinya menggiling tepung di dapur. “Terima kasih suamiku,” bisik
Fatimah kepada suaminya. Usaha sekecil itu, di celah-celah kesibukan
sudah cukup berkesan dalam membelai perasaan seorang isteri.
Suatu hari, Rasulullah masuk ke rumah anaknya, didapati puterinya
(Fatimah) yang berpakaian kasar itu sedang mengisar biji-biji gandum
dalam linangan air mata. Fatimah segera mengesat air matanya tatkala
menyedari kehadiran ayahanda kesayangannya itu. Lalu ditanya oleh
baginda, “Wahai buah hatiku, apakah yang engkau tangiskan itu? Semoga Allah menggembirakanmu.”. Dalam nada sayu, Fatimah berkata,
“Wahai ayahanda, sesungguhnya anakmu ini terlalu penat kerana terpaksa
mengisar gandum dan menguruskan segala urusan rumah seorang diri. Wahai
ayahanda, kiranya tidak keberatan bolehkah ayahanda meminta suamiku
menyediakan seorang pembantu untukku?”.
Rosulullah tersenyum seraya bangun mendapatkan kisaran tepung itu.
Dengan lafaz Bismillah, Rosulullah meletakkan segenggam gandum ke dalam
kisaran itu. Dengan izin Allah, maka berpusinglah kisaran itu dengan
sendirinya. Hati Fatimah sangat terhibur dan merasa sangat gembira
dengan hadiah istimewa dari ayahandanya itu. Habis semua gandumnya
dikisar dan batu kisar itu tidak akan berhenti selagi tidak ada arahan
untuk berhenti, sehingga Rasulullah menghentikannya.
Bersabdalah Rasulullah dengan kata-kata yang masyhur, “Wahai Fatimah,
Gunung Uhud pernah ditawarkan kepadaku untuk menjadi emas, namun
ayahanda memilih untuk keluarga kita kesenangan di akhirat.” Jelas,
Rasulullah mau mendidik puterinya bahawa kesusahan bukanlah penghalang
untuk menjadi solehah.
Ayahanda yang penyayang terus merenung puterinya dengan pandangan kasih sayang, “Puteriku, mahukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kau pinta itu?”. “Tentu sekali ya Rasulullah,” jawab Siti Fatimah kegirangan. Rasulullah bersabda:
“Jibril telah mengajarku beberapa kalimah. Setiap kali selesai
sembahyang, hendaklah membaca ‘Subhanallah’ sepuluh kali, Alhamdulillah’
sepuluh kali dan ‘Allahu Akbar’ sepuluh kali. Kemudian ketika hendak
tidur baca ‘Subhanallah’, ‘Alhamdulillah’ dan ‘Allahu Akbar’ ini
sebanyak tiga puluh tiga kali.”
Ternyata amalan itu telah memberi kesan kepada Fatimah. Semua pekerjaan
rumah tangga dapat dilaksanakan dengan mudah dan sempurna meskipun
tanpa pembantu rumah. Itulah hadiah istimewa dari Allah buat hamba-hamba
yang hatinya sentiasa mengingatiNya.
Suatu hari masuklah Rasulullah menemui anandanya Fatimmah az-Zahra
radhiallahu ‘anha didapati anandanya sedang menggiling syair (sejenis
padi-padian) dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu
sambil menangis. Rasulullah bertanya kepada anandanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fathimah?, Semoga Allah tidak menyebabkan matamu menangis”. Fathimah berkata, “Ayahanda, penggilingan dan urusan-urusan rumahtanggalah yang menyebabkan ananda menangis”.
Lalu duduklah Rasulullah di sisi anandanya. Fathimah melanjutkan perkataannya,
“Ayahanda sudikah kiranya ayahanda meminta ‘ali (suaminya) mencarikan
ananda seorang jariah untuk menolong ananda menggiling gandum dan
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah”.
Mendengar perkataan anandanya ini maka bangunlah Rasulullah mendekati
penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan tangannya yang diberkati
lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya
diucapkannya “Bismillaahirrahmaanirrahiim”.
Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah.
Rasulullah meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk
anandanya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan
sendirinya seraya bertasbih kepada Allah dalam berbagai bahasa sehingga
habislah butir-butir syair itu digilingnya.
Rasulullah berkata kepada gilingan tersebut, “Berhentilah berputar dengan izin Allah”,
maka penggilingan itu berhenti berputar. Lalu penggilingan itu
berkata-kata dengan izin Allah yang berkuasa menjadikan segala sesuatu
dapat bertutur kata.
Maka katanya dalam bahasa Arab yang fasih,
“Ya Rasulullah, demi Allah, Tuhan yang telah menjadikan baginda dengan
kebenaran sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Kalaulah baginda menyuruh hamba
menggiling syair dari Masyriq dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan
semuanya. Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Allah suatu
ayat yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan
apa yang dititahkan”.
Maka hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba menjadi batu yang masuk ke
dalam neraka. Rasulullah kemudian bersabda kepada batu penggilingan
itu, “Bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai Fathimah az-Zahra di dalam syurga”. Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita itu kemudian diamlah ia.
Rasulullah bersabda kepada anandanya,
“Jika Allah menghendaki wahai
Fathimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu.
Akan tetapi Allah menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan
dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu
beberapa derajat.
Ya Fathimah, perempuan mana yang
menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah menuliskan
untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan
mengangkatnya satu derajat.
Ya Fathimah perempuan mana yang
berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah
menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit.
Ya Fathimah, perempuan mana yang
meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci
pakaian mereka maka Allah akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang
yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian
kepada seribu orang yang bertelanjang.
Ya Fathimah, perempuan mana yang
menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Allah akan menghalanginya
dari meminum air telaga Kautshar pada hari kiamat.
Ya Fathimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Jikalau
suamimu tidak ridha denganmu tidaklah akan aku do’akan kamu. Tidaklah
engkau ketahui wahai Fathimah bahwa ridha suami itu daripada Allah dan
kemarahannya itu dari kemarahan Allah?.
Ya
Fathimah, apabil seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya
maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah akan mencatatkan
baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu
kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Allah
mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah
yakni berperang sabil.
Apabila
ia melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti
keadaannya pada hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal
tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan
akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman sorga,
dan Allah akan mengkaruniakannya pahala seribu haji dan seribu umrah
serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat.
Perempuan mana yang melayani
suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat
yang benar maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah akan
memakaikannya sepersalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya
dari setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan
dan dikaruniakan Allah untuknya seribu pahala haji dan umrah.
Ya Fathimah, perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya maka Allah akan memandangnya dengan pandangan rahmat.
Ya Fathimah perempuan mana yang
menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menata rumah
untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari
langit (malaikat),
“Teruskanlah amalmu maka Allah telah mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan datang”.
Ya Fathimah, perempuan mana
yang meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya
serta menggunting kukunya maka Allah akan memberinya minuman dari
sungai-sungai sorga dan Allah akan meringankan sakarotulmaut-nya, dan
akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga
seta Allah akan menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia
melintas di atas titian Shirat”. (Syarah ‘Uquudil lijjaiin-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani).
Sekarang apa rahasia Ali bin Abi Thalib
mencintai Fathimah? Fathimah adalah teman karib semenjak kecil, puteri
tersayang Rosulullah, sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sepupu
Rosulullah yang mempesona, baik kesantunannya, ibadahnya, kecekatan
kerjanya, parasnya maupun kecerdasannya.
Ali bin Abi Thalib sejak Fatimah masih
kanak-kanak sudah memperhatikan sifat dan tingkah lakunya, yaitu pada
suatu hari ketika ayahnya (Rosulullah) pulang dengan luka memercik darah
dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan dengan hati-hati,
ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk
menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan
hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah (sang ayah yang Tepercaya) tidak
layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik (Fatimah) itu
bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah, di sana, para pemuka Quraisy
yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi
tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu
berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Ali bin Abi Thalib tak tahu apakah rasa itu (selalu memperhatikan sifat
dan tingkah laku Fatimah) disebut cinta?.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang
mengejutkan bahwa Fathimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab
dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela
Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman
dan akhlaqnya tak diragukan yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu
’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu
batin Ali bin Abi Thalib. Ia merasa diuji karena merasa, apalah ia
dibanding dengan Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih
utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali bin
Abi Thalib, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya
tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara Ali bin Abi Thalib bertugas menggantikan beliau untuk menanti
maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak
tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu
Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi
Waqqash, Mush’ab. Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib) semasa kanak-kanak
kurang pergaulan.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang
dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.
Siapa budak yang dibebaskan Ali bin Abi Thalib? Dari sisi finansial,
Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
Ali bin Abi Thalib hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali bin Abi Thalib. ”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau
mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah
menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu
Bakar ditolak, dan Ali bin Abi Thalib terus menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri menyambut Fathimah. Tapi, ujian itu rupanya belum
berakhir.
Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar
Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki
yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat
muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-
musuh Allah bertekuk lutut, yaitu Umar bin Khaththab.
Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan
kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. Umar bin Khaththab memang
masuk Islam belakangan, sekitar tiga tahun setelah Ali bin Abi Thalib
dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang
menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang
menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar bin Khaththab dan
Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu,
Ali bin Abi Thalib mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku
datang bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku keluar bersama Abu
Bakar dan Umar bin Khaththab, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar bin
Khaththab..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar bin
Khaththab melakukannya?. Ali bin Abi Thalib menyusul sang Nabi dengan
sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak
menemukan Rosulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, maka ia hanya
berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari
bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
Umar bin Khaththab telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari
ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin
isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa
henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’. Umar bin Khaththab adalah lelaki pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib), sekali lagi sadar.
Bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda
yang belum siap menikah, apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah!
Tidak. Umar bin Khaththab jauh lebih layak, dan Ali bin Abi Thalib pun
ridha.
Sekali lagi cinta tak pernah meminta untuk menanti. tapi mengambil
kesempatan atau mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian
atau pengorbanan. Maka Ali bin Abi Thalib pun bingung ketika mendengar
kabar lamaran Umar bin Khaththab juga ditolak.
Ingin menantu macam apa kiranya yang
dikehendaki Rosulullah? Yang seperti ’Utsman bin Affan, sang miliyader
yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash
ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah,
dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri
Ali bin Abi Thalib. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf
yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu
dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn
Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn
’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?.
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”,
kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunannya.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Rosulullah.. ”
.
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”.
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”.
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
Ali bin Abi Thalib pun menghadap Rosulullah, maka dengan memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya menikahi Fathimah.
Ya, menikahi, dengan sadar secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada
dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung
kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk
bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas
waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan.
Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu
nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas
cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihannya. Pemuda yang
yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya terjawab, ”Ahlan wa sahlan!” .
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Rosulullah. Dan Ali bin Abi
Thalib pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk
bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin
Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap
ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung
beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati
sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan?
Bagaimana lamaranmu?”.
”Entahlah..”.
”Apa maksudmu?”.
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban ?”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka.
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami
satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti
ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya
berarti ya !”.
Dan ’ Ali bin Abi Thalib pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan
baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke
kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu
hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar,
Umar bin Khattab, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Ali bin Abi Thalib adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” .
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan
semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah
meminta untuk menanti.
Seperti ’ Ali bin Abi Thalib. Ia mempersilakan, atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan, dan yang kedua adalah keberanian.
Ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi (Fathimah) dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali,“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”.
Ali bin Abi Thalib terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”.
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu”.
Sekian sepenggal Kisah Putri Baginda Rasulullah SAW, Fatimah Az- Zahra Binti Muhammad SAW, semoga kita wanita muslimah mampu meneladani Beliau.
Aamminn....
^_^