Allah Tanpa Tempat dan Arah
Allah ta’ala berfirman:
“Dia (Allah) tidak menyerupai
sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan
tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang menjelaskan
bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah
menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi atas dua bagian; yaitu
benda dan sifat benda.
Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat
terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama
menyebutnya dengan al Jawhar al Fard), dan benda yang dapat terbagi
menjadi bagian-bagian (jisim).
Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;
1. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Adapun
sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam,
berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan
sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala
tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga
bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati
dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk
dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena
seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa
dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi
(panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia
adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang
menjadikannya dalam dimensi tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda
: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan),
tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin,
cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat
dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum
terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya
dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah,
karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan
belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan
belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”.
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan :
“Allah
ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan
bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan
bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?”
atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat
dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan
menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan
arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan:
“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam:
Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu
menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al
Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu”
(H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.
Hadits Jariyah
Sedangkan salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya member
persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak boleh
diambil secara zhahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna yang sesuai
dengan sifat-sifat Allah, jadi maknanya adalah Dzat yang
sangat tinggi derajat-Nya sebagaimana dikatakan oleh ulama Ahlussunnah
Wal Jama’ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih
Muslim. Sementara riwayat hadits Jariyah yang maknanya shahih adalah:
Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah seorang
sahabat Anshar datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam
dengan membawa seorang hamba
sahaya berkulit hitam, dan berkata:
“Wahai Rasulullah
sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya
yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka
aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya:
Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah? Ia (budak) menjawab:
“Ya”, Rasulullah berkata kepadanya
: Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul (utusan) Allah? Ia menjawab: “
Ya”, kemudian Rasulullah berkata:
Apakah engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian? ia menjawab :
“Ya”, kemudian Rasulullah berkata:
Merdekakanlah dia”.
Al Hafizh al Haytsami (W. 807 H) dalam kitabnya Majma’ az-Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan:
“Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”.
Riwayat inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran
Islam, karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk
Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang lain.
Tidak Boleh dikatakan Allah ada di atas ‘Arsy atau ada di mana-mana
Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari di atas perkataan
sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-:
Maknanya:
“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan
Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula,
ada tanpa tempat” (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di
mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua
arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani (W. 973 H) dalam kitabnya
al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash:
“Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana”.
Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang maknanya:
“Sesungguhnya
Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk
menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi
Dzat-Nya” (diriwayatkan oleh Abu Manshur
al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)
Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang maknanya:
“Sesungguhnya
yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana
(pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat
makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya
bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98).
A llah Maha suci dari Hadd
Maknanya: Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud (sesuatu yang
berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun
besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut mereka adalah
bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang
terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai
ukuran demikian juga ‘Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing
mempunyai ukuran.
Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang maknanya:
“Barang
siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia
tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W. 430 H) dalam Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72).
Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan
bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa Dia
memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan kekufuran.
Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar memiliki
tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda dan tidak
disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah mengatakan: “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak
mempunyai ukuran, besar maupun kecil”. Karena sesuatu yang memiliki
tempat dan arah pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah
bahwa tidak ada yang mengetahui
tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia mempunyai
tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif bahwa ia
mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang kosong yang diisi
oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah
ruang kosong yang diisi oleh suatu benda.
Al Imam As-Sajjad Zayn al ‘Abidin ‘Ali ibn al Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata :
“Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat”, dan dia berkata:
“Engkaulah Allah yang Maha suci dari hadd (benda, bentuk, dan ukuran)”, beliau juga berkata :
“Maha suci Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh” yakni
bahwa Allah tidak menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak
disentuh oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda.
Allah Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak
berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan
Allah ada tanpa arah. (Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al
Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya
adalah Ahl al Bayt; keturunan Rasulullah).
Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang berkeyakinan Wahdatul Wujud dan Hulul.
Bantahan Ahlussunnah terhadap Keyakinan Tasybih; bahwa Allah bertempat, duduk atau bersemayam di atas ‘Arsy.
Al Imam Abu Hanifah -semoga Allah meridlainya- berkata :
“Barangsiapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah berada di langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir”. (diriwayatkan oleh al Maturidi dan lainnya).
Al Imam Syekh al ‘Izz ibn ‘Abd as-Salam asy-Syafi’i dalam kitabnya “Hall
ar-Rumuz” menjelaskan maksud Imam Abu Hanifah, beliau mengatakan
:
“Karena perkataan ini memberikan persangkaan bahwa Allah bertempat, dan
barang siapa yang menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah
musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya)”. Demikian juga dijelaskan maksud Imam Abu Hanifah ini oleh al Bayadli al Hanafi dalam Isyarat al Maram.
Al Imam al Hafizh Ibn al Jawzi (W. 597 H) mengatakan dalam kitabnya Daf’u Syubah at-Tasybih :
Maknanya
: “Sesungguhnya orang yang mensifati Allah dengan
tempat dan arah maka ia adalah Musyabbih (orang yang menyerupakan Allah
dengan Makhluk-Nya) dan Mujassim (orang yang meyakini bahwa Allah
adalah jisim: benda) yang tidak mengetahui sifat Allah”.
Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W. 852 H) dalam Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari mengatakan :
“Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka
yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari tempat”.
Di dalam kitab al Fatawa al Hindiyyah, cetakan Dar Shadir,
jilid II, h. 259 tertulis sebagai berikut: “Adalah kafir orang yang
menetapkan tempat bagi Allah ta’ala “.
Juga dalam kitab Kifayah al Akhyar karya al Imam Taqiyyuddin al Hushni
(W. 829 H), Jilid II, h. 202, Cetakan Dar al Fikr, tertulis sebagai
berikut : “… hanya saja an-Nawawi menyatakan dalam bab Shifat ash-Shalat
dari kitab Syarh al Muhadzdzab bahwa Mujassimah adalah kafir, Saya (al
Hushni) berkata: “Inilah kebenaran yang tidak dibenarkan selainnya,
karena tajsim (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa
Allah adalah jisim –benda-) jelas menyalahi al Qur’an. Semoga Allah
memerangi golongan Mujassimah dan Mu’aththilah (golongan yang menafikan
sifat-sifat Allah), alangkah beraninya mereka menentang Allah yang
berfirman tentang Dzat-Nya (Q.S. asy-Syura : 11) :
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya
dan Dia disifati dengan sifat pendengaran dan penglihatan yang tidak
menyerupai pendengaran dan penglihatan makhluk-Nya”.
Ayat ini jelas membantah kedua golongan tersebut”.
Imam Abu Hanifah Mensucikan Allah dari Arah
Al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- dalam kitabnya al
Washiyyah berkata yang maknanya: “Bahwa penduduk surga melihat Allah
ta’ala adalah perkara yang haqq (pasti terjadi) tanpa (Allah) disifati
dengan sifat-sifat benda, tanpa menyerupai makhluk-Nya dan tanpa (Allah)
berada di suatu arah”
Ini adalah penegasan al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya-
bahwa beliau menafikan arah dari Allah ta’ala dan ini menjelaskan kepada
kita bahwa ulama salaf mensucikan Allah dari tempat dan arah.
Imam Malik Mensucikan Allah dari sifat Duduk, Bersemayam atau semacamnya
Al Imam Malik –semoga Allah meridlainya– berkata: “Ar-Rahman ‘ala al
‘Arsy istawa sebagaimana Allah mensifati Dzat (hakekat)-Nya dan tidak
boleh dikatakan bagaimana, dan kayfa (sifat-sifat makhluk) adalah
mustahil bagi-Nya” (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma’ Wa
ash-Shifat).
Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha suci dari
semua sifat benda seperti duduk, bersemayam, berada di suatu tempat dan
arah dan sebagainya.
Sedangkan riwayat yang mengatakan wa al Kayf Majhul adalah tidak benar dan Al Imam Malik tidak pernah mengatakannya.
Dzat Allah Tidak Bisa Dibayangkan
Al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya– berkata: “Barang siapa
yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini
bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah
musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir. Dan
jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang
mengaturnya) maka dia adalah mu’aththil -atheis- (orang yang meniadakan
Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang
menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak
akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang
mentauhidkan Allah); muslim”. (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi danlainnya)
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Tsauban ibn Ibrahim Dzu an-Nun
al Mishri, salah seorang murid terkemuka al Imam Malik -semoga Allah
meridlai keduanya- berkata: “Apapun yang terlintas dalam benakmu
(tentang Allah) maka Allah tidak menyerupai itu (sesuatu yang
terlintas dalam benak)” (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi dan al Khathib al Baghdadi)
Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al-Qawim h.
64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya
meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah -semoga
Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang
yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda,
mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.
Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti
benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi
(W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’I dalam kitab
Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari
kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal). Al
Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan :
“Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah
kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H)
berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupunbesar,
jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,
anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun
anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung,
telinga dan lainnya).
Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah,
kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi
enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’
(konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga
abad pertama hijriyah).
Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah maksud dari
mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad shallallahu
‘alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu
dengan-Nya, melainkan maksud mi’raj adalah memuliakan Rasulullah
shalalllahu ‘alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban
makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al Isra ayat
1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam sehingga jarak antara keduanya dua
hasta atau lebih dekat, melainkan yang kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alayhi wasallam di saat mi’rajadalah Jibril ‘alayhissalam, sebagaimana
diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari (W. 256 H) dan lainnya dari
as-Sayyidah ‘Aisyah -semoga Allah meridlainya-, maka wajib dijauhi kitab
Mi’raj Ibnu ‘Abbas dan Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas karena
keduanya adalah kebohongan belaka yang dinisbatkan kepadanya.
Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit
ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah
langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan
tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika
melakukan shalat ia menghadap ka’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah
berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat.
Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah seperti al Imam al Mutawalli (W. 478 H) dalam kitabnya al
Ghun-yah, al Imam al Ghazali (W. 505 H) dalam kitabnya Ihya ‘Ulum
ad-Din, al Imam an-Nawawi (W. 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim,
al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki (W.
756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi.
Perkataan al Imam at-Thahawi tersebut juga merupakan bantahan terhadap
pengikut paham Wahdah al Wujud yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu
dengan makhluk-Nya atau pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa
Allah menempati makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma’
(konsensus) kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam as-Suyuthi
(W. 911 H) dalam karyanya al Hawi li al Fatawi dan lainnya, juga para
panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al Baghdadi
(W. 297 H), al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H), Syekh Abdul Qadir al
Jilani (W. 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati, mereka selalu
memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang berdusta sebagai
pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah Wahdah al Wujud dan Hulul.
Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:
“Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”.
Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk,
bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah, berada pada
satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf, suara dan bahasa dan
sebagainya. Maka orang yang mengatakan bahwa bahasa
Arab atau bahasa-bahasa selain bahasa Arab adalah bahasa Allah atau
mengatakan bahwa kalam Allah yang azali (tidak mempunyai permulaan)
dengan huruf, suara atau semacamnya, dia telah
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dan barang siapa yang menyifati
Allah dengan salah satu dari sifat-sifat manusia seperti yang tersebut
di atas atau semacamnya ia telah terjerumus dalam kekufuran.
Begitu juga orang yang meyakini Hulul dan Wahdah al Wujud telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Aqidah Imam Abul Hasan al Asy’ari
Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari (W. 324 H) –semoga Allah meridlainya-
berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (diriwayatkan oleh al
Bayhaqi dalam al Asma wa ash-Shifat).1 Beliau juga mengatakan:
1 Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak
dan tersebar sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari telah banyak
dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh kebohongan, maka hendaklah dijauhi kitab tersebut.
“Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ta’ala di satu tempat atau di
semua tempat”. Perkataan al Imam al Asy’ari ini dinukil oleh al Imam
Ibnu Furak (W. 406 H) dalam karyanya al Mujarrad.
Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad
berkata: “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat
al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang
mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”.
Mutasyabihat artinya nash-nash al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad
shallallahu ‘alayhi wasallam yang dalam bahasa arab mempunyai lebih dari
satu arti dan tidak boleh diambil secara
zhahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya), akan tetapi wajib dikembalikan maknanya
sebagaimana perintah Allah dalam al Qur’an pada ayat-ayat yang Muhkamat,
yakni ayat-ayat yang mempunyai satu makna dalam bahasa Arab, yaitu
makna bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya.
Ayat Istiwa’
Di antara ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak boleh diambil secara zhahirnya adalah firman Allah ta’ala (surat Thaha: 5):
Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bawa Allah duduk (jalasa) atau
bersemayam atau berada di atas ‘Arsy dengan jarak atau bersentuhan
dengannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak seperti
duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena
duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda sebagaimana yang
dikatakan oleh al Hafizh al Bayhaqi (W. 458 H), al Imam al Mujtahid
Taqiyyuddin as-Subki (W. 756 H) dan al Hafizh
Ibnu Hajar (W. 852 H) dan lainnya. Kemudian kata istawa sendiri dalam
bahasa Arab memiliki 15 makna. Karena itu kata istawa tersebut harus
ditafsirkan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan
ayat-ayat Muhkamat.
Berdasarkan ini, maka tidak boleh menerjemahkan kata istawa ke dalam
bahasa Indonesia dan bahasa lainnya karena kata istawa mempunyai 15
makna dan tidak mempunyai padan kata (sinonim) yang mewakili 15 makna
tersebut. Yang diperbolehkan adalah menerjemahkan maknanya, makna kata
istawa dalam ayat tersebut adalah qahara (menundukkan atau menguasai).
Dengan ini diketahui bahwa tidak boleh berpegangan kepada “al Qur’an
dan Terjemahnya” yang dicetak oleh Saudi Arabia karena di dalamnya
banyak terdapat penafsiran dan terjemahan yang menyalahi aqidah
Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti ketika mereka menerjemahkan istawa
dengan bersemayam, padahal Allah maha suci dari duduk, bersemayam dan
semua sifat makhluk. Mereka juga menafsirkan Kursi dalam surat al
Baqarah:255 dengan tempat letak telapak kaki-Nya, padahal Allah maha
suci dari anggota badan, kecil maupun besar, seperti ditegaskan oleh al
Imam ath-Thahawi dalam al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah.
Al Imam Ali –semoga Allah meridlainya- mengatakan:
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”.
Maka ayat tersebut di atas (surat Thaha: 5) boleh ditafsirkan dengan
qahara (menundukkan dan menguasai) yakni Allah menguasai ‘Arsy
sebagaimana Dia menguasai semua makhluk-Nya. Karena al Qahr adalah
merupakan sifat pujian bagi Allah. Dan Allah menamakan dzat-Nya al Qahir
dan al Qahhar dan kaum muslimin menamakan anak-anak mereka ‘Abdul Qahir
dan ‘Abdul Qahhar. Tidak seorangpun dari umat Islam yang menamakan
anaknya ‘Abd al jalis (al jalis adalah nama bagi yang duduk). Karena
duduk adalah sifat yang sama-sama dimiliki oleh manusia, jin, hewan dan
malaikat. Penafsiran di atas tidak berarti bahwa Allah sebelum itu tidak
menguasai ‘arsy kemudian menguasainya, karena al Qahr adalah sifat
Allah yang azali (tidak
mempunyai permulaan) sedangkan ‘arsy adalah merupakan makhluk yang baru
(yang mempunyai permulaan). Dalam ayat ini, Allah menyebut ‘arsy secara
khusus karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya.
Riwayat yang Sahih dari Imam Malik tentang Ayat Istiwa’ Al Imam Malik
ditanya mengenai ayat tersebut di atas,
kemudian beliau menjawab:
Maknanya: “Dan tidak boleh dikatakan bagaimana dan al kayf /bagaimana
(sifat-sifat benda) mustahil bagi Allah”. (diriwayatkan oleh al Hafizh
al Bayhaqi dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat)
Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha suci dari
semua sifat benda seperti duduk, bersemayam dan sebagainya. Sedangkan
riwayat yang mengatakan wal Kayf Majhul
adalah tidak benar.
Penegasan Imam Syafi’i tentang Orang yang Berkeyakinan Allah duduk di atas ‘Arsy
Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W. 725 H) menyebutkan dalam karyanya Najm al
Muhtadi menukil perkataan al Imam al Qadli Najm ad-Din dalam kitabnya
Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih bahwa ia menukil dari al Qadli
Husayn (W. 462 H) bahwa al Imam asy-Syafi’I menyatakan kekufuran orang
yang meyakini bahwa Allah duduk di atas ‘arsy dan tidak boleh shalat
(makmum) di belakangnya.
Ulama Ahlussunnah yang Mentakwil Istiwa’
Kalangan yang mentakwil istawa dengan qahara adalah para ulama
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Di antaranya adalah al Imam ‘Abdullah ibn Yahya
ibn al Mubarak (W. 237 H) dalam kitabnya
Gharib al Qur’an wa Tafsiruhu, al Imam Abu Manshur al Maturidi al Hanafi
(W. 333 H) dalam kitabnya Ta’wilat Ahlussunnah Wal Jama’ah, az-Zajjaj,
seorang pakar bahasa Arab (W. 340 H) dalam kitabnya Isytiqaq Asma Allah,
al Ghazali asy-Syafi’i (W. 505 H) dalam al Ihya, al Hafizh Ibn al Jawzi
al Hanbali (W. 597 H) dalam kitabnya Daf’u Syubah at-Tasybih, al Imam
Abu ‘Amr ibn al Hajib al Maliki (W. 646 H) dalam al Amaali an-Nahwiyyah,
Syekh Muhammad Mahfuzh at-Termasi al Indonesi asy-Syafi’i (W. 1285-1338
H) dalam Mawhibah dzi al Fadll, Syekh Muhammad Nawawi al Jawi al
Indonesi asy-Syafi’i (W. 1314 H-1897) dalam kitabnya at-Tafsir al Munir
dan masih banyak lagi yang lainnya.
Inkonsistensi Orang yang Memahami Ayat Istiwa’ secara Zhahirnya Dan
orang yang mengambil ayat mutasyabihat ini secara zhahirnya, apakah yang
akan ia katakan tentang ayat 115 surat al Baqarah:
Jika orang itu mengambil zhahir ayat ini berarti maknanya: “ke arah
manapun kalian menghadap, di belahan bumi manapun, niscayaAllah ada di
sana”. Dengan ini berarti keyakinannya saling
bertentangan.
Akan tetapi makna ayat di atas bahwa seorang musafir yang sedang
melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangan, ke arah manapun hewan
tunggangan itu menghadap selama arah tersebut adalah arah tujuannya maka
– فثم وجه الله – di sanalah kiblat Allah sebagaimana yang dikatakan
oleh Mujahid (W. 102 H) murid Ibn Abbas. Takwil Mujahid ini diriwayatkan
oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam al Asma’ Wa ash-Shifat.
Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”
Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah
asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst
sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang
menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di
sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang
bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah
SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan
terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu
penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah
membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam
memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna
tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir
lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut
tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan
tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT. Ibnu katsir adalah
salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain.
Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang
makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari
Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di
ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah
metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil
oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama
terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena
telah mentakwili ayat-ayat sifat
ini.maka
kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh
mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan
mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak
riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid
akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka
sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars
,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini
di ta’
wili.akan tetapi dengan
tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan
penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua
mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt
berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan
‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini
semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh
dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid
menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil
mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah
dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah
maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab
A. Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA
I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :
1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)
Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah) :
{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia
pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang
memerincikan makna (membuka/menjelaskannya) (lafadz istiwa) dan
sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan
salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad
dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan
ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak
ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif
(memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq)
dan tanpa ta’thil(menafikan) dan (memaknai lafadz istiwa
dengan) makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman
golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah) yaitu Allah tidak
serupa dengan makhluqnya…”
Wahai mujasimmah wahhaby!!
lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat
dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!
bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!
Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :
““Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia
Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya
adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin
Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang
mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan
bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah
Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang
telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan
(pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah
sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”
Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :
– Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan
ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak
seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat
mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!
– ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang
tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi
mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak
memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat
tersebut.
– disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya tidak melarang ta’wil.
“…dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian,
yakni
membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa
memperincikan maknanya)tanpa takyif (bagaimana, gambaran), tanpa
tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”
sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!
2. Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:
1- Tafsir al Qurtubi
(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan
2- Tafsir al-Jalalain
(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya
3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:
makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian
dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah
yang lain…
4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):
(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana
pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana
lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk)
dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi
Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu
ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas
al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.
II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf
Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:
1-masak (boleh di makan) contoh:
قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak
2- التمام: sempurna, lengkap
3- الاعتدال : lurus
4- جلس: duduk / bersemayam,
contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil
5- استولى : menguasai,
contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق
Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.
Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai
hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan
lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul
munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak
lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna
bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia
tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini
tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu
sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?
sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):
ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر
Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat
dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’
Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran
dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling
besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan
Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah
diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:
ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته
Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk
menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.
Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.
III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda
*Bersemayam
yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah
tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah
Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin
Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab
lain termasuk
Al-Kabair.Az-Zahabi
mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan
olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian
teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab:
Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam
oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah
Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia
telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya
meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah –
semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap
orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah
benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.
Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti
benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi
(W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab
Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan
pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).
Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan :
“Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah
kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah
tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota
badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota
badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan
lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas,
bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’
(konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga
abad pertama hijriyah).
III. ulamak 4 mazhab tentang aqidah
1- Imam Abu hanifah:
لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه
Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang
menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.
IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal
tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :
“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa
Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan
Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy
tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang
lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu
mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat
duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci
Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu
Hanifah dari kitab Wasiat.
Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah
dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat
bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.
2-Imam Syafie:
انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير
Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum
dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan
sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak
harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam
kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23
3-Imam Ahmad bin Hanbal :
-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر
Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al
Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan
oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga
al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.
وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه
Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil
yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal)
bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau
seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam
Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami
4- Imam Malik :
الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة
Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran)
dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal
tentangnya bidaah.
lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan
memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau
bertempat (istiqrar)…..